Butuh Makalah Ini? Download disini
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam setiap menjalankan ibadah kita harus suci atau bersih, baik jasmani atau rohani karena itu
sebagai syarat sahnya ibadah. untuk rohani, kita terlebih dahulu mengucap 2
kalimat syahadat. untuk jasmani, maka kita perlu bersih dari kotoran atau
najis, baik badan maupun pakaian yang kita pakai. untuk membersihkan najis atau kotoran itu kita perlu bersuci (thaharah).
Allah berfirman:
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya: “ Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS al-Mudatsir:
4).
ÏmÏù ×A%y`Í cq7Ïtä br& (#rã£gsÜtGt 4 ª!$#ur =Ïtä úïÌÎdg©ÜßJø9$# ÇÊÉÑÈ
Artinya: “ ....di
dalamnya (mesjid) terdapat orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri,
sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang selalu membersihkan diri dan
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS at-Taubah: 108).
Ibadah
merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah
manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti.
Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam, seperti sholat puasa, naik
haji, jihad, membaca al-qur’an, dan lainnya. setiap ibadah memiliki syarat –
syarat untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak
untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya
haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh,
berakal, dan sebagainya. Contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat
maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari
segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar kecil.
Kualitas
pahala ibadah juga dipermasalahkan jika kebersihan dan kesucian diri seseorang
dari najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini
berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis merupakan keharusan bagi
setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an,
naik haji, dan lain sebaginya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian najis?
2. Apa saja macam-macam najis?
3. Apa saja benda-benda yang termasuk najis?
4. Bagaimana cara bersuci dari najis?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian najis.
2. Untuk mengetahui macam-macam najis.
3. Untuk mengetahui benda-benda yang termasuk najis.
4. Untuk mengetahui cara bersuci dari najis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Najis
Najis adalah perkara yang secara
otomatis dapat menghambat ibadah kita, karena sifat najis adalah mengkotori
sesuatu dan tidak akan bersih ataupun suci sebelum di bersihkan. Untuk itu kita
perlu berhati-hati dalam menghadapi perkara-perkara tentang najis. Sudah
sucikah badan dan pakaian anda? Dizaman sekarang ini banyak orang yang tidak
memperdulikan masalah najis dan penyuciannya ,
ini merupakan hal yang fatal dalam persoalan ibadah.
Najis adalah bentuk kotoran yang setiap
muslim diwajibkan untuk membersihkan diri darinya atau mencuci bagian yang
terkena olehnya. mengenai hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: “ Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Secara etimologis, “najis” berarti sesuatu yang
mengotori. Sedangkan menurut syara’, “najis” adalah sesuatu yang kotor yang
dapat menghalangi keabsahan shalat selama tidak ada sesuatu yang meringankan (rukhsah).[1]
Tak jauh berbeda dari pendapat di atas, Hasan Saleh menyebutkan bahwa
pengertian najis ditinjau dari arti bahasa adalah
perkara yang menjijikan. Sedangkan menurut arti secara syara’ adalah
benda yang dianggap menjijikan yang menjegah keabsahan shalat seandainya
terbawa didalamnya.[2]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
pernah bersabda:
...... قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
B.
Macam-macam Najis
Najis
terdiri dari beberapa macam, baik berbentuk cair maupun padat. Contoh najis
yang bersifat cair adalah; khamr, air seni (urine), darah, dll. Sedangkan yang
bersifat padat di antaranya; bangkai, tinja, dll.
1.
Najis Mughalazhah (Najis
Berat)
Yaitu
najis berat, contohnya anjing, babi, dan peranakan dari keduanya, berikut pula
air seni, air liur, tinja, dll yang bersumber dari binatang-binatang tersebut.
Apabila suatu benda terkena najis karena bersentuhan dengan anjing atau babi,
yang salah satunya basah,[4]
maka benda tersebut dihukumi najis
Mughalazhah.
2.
Najis Muthawasithah
(najis sedang)
Najis
Muthawasithah adalah semua najis selain anjing dan babi atau peranakan dari
keduanya. Najis Muthawasithah ini
berupa najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera
manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap
belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut.[5]
3.
Najis Mukhaffafah (Najis
Ringan)
Yaitu
najis ringan, contohnya yaitu air seni bayi laki-laki yang belum berumur dua
tahun dan belum makan apa pun selain ASI. Najis mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari syara’,
sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci.[6]
C.
Benda-benda yang
Najis
1.
Bangkai
binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia
Adapun
bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak
berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang serta mayat manusia, semuanya
suci.
Firman
Allah Swt:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$#.....
Artinya: “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maidah: 3)
Adapun
bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat manusia,
tidak masuk dalam arti bangkai yang umum dalam ayat tersebut karena ada
keterangan lain. Bagian bangkai, seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu, dan
lemaknya semuanya itu najis menurut madzab syafi’i.
2. Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati
dan limpa. Firman
Allah Swt.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
Artinya: “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Maidah:
3)
3. Nanah
Segala macam nanah itu najis, baik yang
kental maupun yang cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.
4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu
Semua itu najis selain dari mani, baik
yang biasa seperti tinja, air kencing ataupun yang tidak biasa, seperti mazi, baik
dari hewan yang halal dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.
5. Khamr/Arak (setiap minuman keras yang memabukan)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)
6. Anjing dan Babi
Semua hewan suci, kecuali Anjing dan Babi.
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ
سَبْعَ مِرَارٍ أُولَاهُنَّ بِتُرَابٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "Kesucian bejana salah seorang di antara kalian, kalau di
dalamnya dijilat anjing, hendaknya dicuci tujuh kali, salah satu diantaranya
dengan tanah. " (HR. Muslim & Abu Daud)
7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya
selagi hidup.
Hukum bagian-bagian badan binatang yang
diambil selagi hidup ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya
najis, maka yang dipotong itu juga najis, seperti babi dan kambing. Kalau
bangkainya suci, yang dipotong selagi hidupnya sewaktu hidupnya pun suci pula,
seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal
dimakan, hukumnya suci.[7]
8. Kotoran dan Kencing Hewan.
Menurut syari’at Islam, semua yang keluar
dari hewan adalah najis, baik itu
kotoran maupun kencingnya.
9. Hewan Jalalah (Liar)
Jalalah adalah hewan liar yang memakan
kotoran, baik kotoran unta, sapi, kamping, ayam, angsa, dan lain-lainnya,
sehingga hewan tersebut berubah baunya.
10. Wadi
Wadi adalah cairan kental yang biasanya
keluar setelah seseorang selesai dari buang air kecilnya (kencing). Wadi ini
dihukumi najis dan harus disucikan seperti halnya kencing, tetapi tidak wajib
mandi.
11. Madzi
Madzi adalah cairan bening sedikit kental
yang keluar dari saluran kencing ketika bercumbu atau nafsu syahwat mulai
terangsang. Terkadang tidak merasakan akan proses keluarnya. Hal itu sama-sama
dialami oleh laki-laki dan juga wanita, akan tetapi jumlahnya lebih banyak.
12. Kencing dan Muntah Manusia
Menurut kesepakatan para ulama, keduanya
adalah najis.
13. Mani
Mengenai mani, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama, yang mana sebagian dari mereka menganggapnya najis. Yang
jelas ia tetap suci.[8]
D.
Cara Bersuci dari
Najis
1.
Najis Mughalazhah (Najis
Berat)
Apabila
suatu benda terkena najis mughalazhah (Najis
Berat), maka benda itu hanya bisa disucikan dengan cara dicuci tujuh kali yang
salah satu di antaranya menggunakan debu yang merata pada seluruh tempat yang
terkena najis. Adalah wajib hukumnya untuk meratakan tempat atau pakaian yang
terkena najis mughalazhah dengan air
yang dicampur debu. Menurut
pendapat yang azhar, penggunaan debu
tidak bisa digantikan dengan bahan lain seperti abun atau asynan.[9] Hal
tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ
سَبْعَ مِرَارٍ أُولَاهُنَّ بِتُرَابٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau
bersabda, "Kesucian bejana salah seorang di antara kalian, kalau di
dalamnya dijilat anjing, hendaknya dicuci tujuh kali, salah satu diantaranya
dengan tanah. " (HR. Muslim & Abu Daud)
2.
Najis Muthawasithah
(najis sedang)
Jika
najis muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera
manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap
belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut. Jika ternyata
najis muthawasithah sulit
dihilangkan, wajib digunakan bahan-bahan semacam sabun. Jika ternyata (setelah
dicuci dengan sabun) warna atau bau najis tersebut masih ada dan benar-benar
sulit dihilangkan, itu tidak mengapa. Jika najis
muthawasithah tidak berwujud, seperti air seni yang sudah kering, dan sudah
tidak ada rasa, warna dan baunya, maka cukuplah najis itu dihilangkan dengan
mengalirkan air pada bagian yang terkena najis dengan satu kali siraman.[10]
Sabda
Rasulullah SAW.:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَصَلَّى قَالَ ابْنُ عَبْدَةَ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلَا تَرْحَمْ
مَعَنَا أَحَدًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ
تَحَجَّرْتَ وَاسِعًا ثُمَّ لَمْ يَلْبَثْ أَنْ بَالَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ
فَأَسْرَعَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَالَ إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ صُبُّوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ قَالَ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA,
bahwasanya pernah ada seorang Arab badui masuk ke dalam masjid, sedangkan
Rasulullah SAW duduk, lalu orang tersebut mengerjakan shalat, kata Ibnu Abdah,
"Dua rakaat" kemudian berkata (orang itu), "Ya Allah! Berilah
aku rahmat dan Muhammad, dan janganlah engkau beri rahmat seseorang yang
bersama kami!" Maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya
kamu telah mempersempit suatu perkara yang luas. " Kemudian orang itu
tetap tinggal, sehingga kencing di sudut masjid. Maka orang-orang dengan segera
membentaknya, lalu Nabi SAW melarang mereka dan bersabda, "Sesungguhnya
kamu sekalian diutus untuk mempermudah, tidak diutus untuk mempersulit. "
Tuangkanlah air satu timba ke atas kencing itu!" (HR. Bukhari, Muslim & Abu Daud)
3.
Najis Mukhaffafah (Najis
Ringan)
Najis
mukhaffafah ini adalah najis yang
mendapat toleransi dari syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara
dicuci. Meskipun terdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut
cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak
disyaratkan untuk mengalirkan air. Mayoritas ulama berpendapat bahwa air seni
anak kecil adalah najis, oleh sebab itu syari’
(Allah dan Rasulullah) memberikan keringanan pada proses penyuciannya.
Adapun air kencing bayi perempuan atau bayi khunsa
(berkelamin ganda) hendaklah dicuci sebagaimana halnya air kencing
perempuan dewasa, bagitu pula halnya dengan air seni bayi laki-laki yang sudah
memakan makanan selain ASI.[11]
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
عَن أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنٍ لَهَا لَمْ يَبْلُغْ أَنْ يَأْكُلَ الطَّعَامَ
قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ أَخْبَرَتْنِي أَنَّ ابْنَهَا ذَاكَ بَالَ فِي حَجْرِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَى ثَوْبِهِ وَلَمْ
يَغْسِلْهُ غَسْلًا
Artinya: Dari Ummu Qais binti Muhshan RA, bahwasanya dia pernah datang menghadap
Rasulullah SAW dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum makan makanan. Kata
Ubaidullah, "Ummu Qais memberitahu
saya bahwa bayi laki-lakinya kencing di pangkuan Rasulullah, kemudian
Rasulullah meminta air dan memercikkannya pada bajunya tanpa membasuhnya."
(HR. Muslim)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis, “najis” berarti sesuatu yang
mengotori. Sedangkan menurut syara’, “najis” adalah sesuatu yang kotor yang
dapat menghalangi keabsahan shalat selama tidak ada sesuatu yang meringankan (rukhsah).
Najis
terbagi tiga jenis, yaitu:
1.
Najis Mughalazhah (Najis
Berat)
2.
Najis Muthawasithah
(najis sedang)
3.
Najis Mukhaffafah (Najis
Ringan)
Berikut
ini beberapa benda yang termasuk najis, yaitu: bangkai, darah, nanah, segala
benda cair yang keluar dari dua pintu, khamr/arak (setiap minuman keras yang
memabukan), anjing dan babi, bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya
selagi hidup, kotoran dan kencing hewan, hewan jalalah (liar), wadi, madzi, kencing
dan muntah manusia dan mani.
Cara
mensucikan najis yaitu:
1.
Najis Mughalazhah (Najis
Berat)
Apabila
suatu benda terkena najis mughalazhah (Najis
Berat), maka benda itu hanya bisa disucikan dengan cara dicuci tujuh kali yang
salah satu di antaranya menggunakan debu yang merata pada seluruh tempat yang
terkena najis.
2.
Najis Muthawasithah
(najis sedang)
Jika
najis muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera
manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap
belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut. Jika ternyata
najis muthawasithah sulit
dihilangkan, wajib digunakan bahan-bahan semacam sabun. Jika ternyata (setelah
dicuci dengan sabun) warna atau bau najis tersebut masih ada dan benar-benar
sulit dihilangkan, itu tidak mengapa.
3.
Najis Mukhaffafah (Najis
Ringan)
Najis
mukhaffafah ini adalah najis yang
mendapat toleransi dari syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara
dicuci. Meskipun terdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut
cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak
disyaratkan untuk mengalirkan air.
B. Saran
Sebagai penulis kami menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami
memohon maaf apabila ada kesalahan dan kami sangat mengharap saran yang
membangun dari pembaca agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
H.E. Hasan Saleh. (2008). Kajian
Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta:Rajawali Pers.
Sulaiman Rasjid. (2014). Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. (1998) Fiqih Wanita (Edisi Indonesia). Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Zuhaili, Wahbah.
(2010). Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits (Terjemahan).
Jakarta: Almahira.
[1] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas
Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Terjemahan), (Jakarta: Almahira,
2010), hlm. 99
[3] Syaikh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Edisi
Indonesia), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 15.
[4]
Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hlm. 105
[5]
Ibid., hlm. 107
[6]
Ibid., hlm. 108
[7]
Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2014), hlm. 16-20.
[8]
Syaikh Kamil
Muhammad ‘Uwaidah, Op.Cit., hlm.
16-22
[9]
Ibid., hlm. 105-106
[10]
Ibid., hlm. 107
[11]
Ibid., hlm. 108
Butuh Makalah Ini? Download disini
No comments:
Post a Comment