Kumpulan Makalah dan Artikel Islam

Thursday, February 15, 2018

Makalah Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya


Butuh Makalah Ini? Download disini


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam setiap menjalankan ibadah kita harus suci atau bersih, baik jasmani atau rohani karena itu sebagai syarat sahnya ibadah. untuk rohani, kita terlebih dahulu mengucap 2 kalimat syahadat. untuk jasmani, maka kita perlu bersih dari kotoran atau najis, baik badan maupun pakaian yang kita pakai. untuk membersihkan najis atau kotoran itu kita perlu bersuci (thaharah).
Allah berfirman:
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya: “ Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS al-Mudatsir: 4).
ÏmÏù ×A%y`Í šcq7Ïtä br& (#r㍣gsÜtGtƒ 4 ª!$#ur =Ïtä šúï̍Îdg©ÜßJø9$# ÇÊÉÑÈ
Artinya: “ ....di dalamnya (mesjid) terdapat orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri, sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang selalu membersihkan diri dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS at-Taubah: 108).

Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam – macam, seperti sholat puasa, naik haji, jihad, membaca al-qur’an, dan lainnya. setiap ibadah memiliki syarat – syarat untuk dapat melakukannya, dan ada pula yang tidak memiliki syarat mutlak untuk melakukannya. Diantara ibadah yang memiliki syarat – syarat diantaranya haji, yang memiliki syarat–syarat, yaitu mampu dalam biaya perjalannya, baligh, berakal, dan sebagainya. Contoh lain jika kita akan melakukan ibadah sholat maka syarat untuk melakukan ibadah tersebut ialah kita wajib terbebas dari segala najis maupun dari hadats, baik hadats besar kecil.
Kualitas pahala ibadah juga dipermasalahkan jika kebersihan dan kesucian diri seseorang dari najis belum sempurna. Maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Ini berarti bahwa kebersihan dan kesucian dari najis merupakan keharusan bagi setiap manusia yang akan melakukan ibadah, terutama sholat, membaca Al-Qur’an, naik haji, dan lain sebaginya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian najis?
2.    Apa saja macam-macam najis?
3.    Apa saja benda-benda yang termasuk najis?
4.    Bagaimana cara bersuci dari najis?

C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian najis.
2.    Untuk mengetahui macam-macam najis.
3.    Untuk mengetahui benda-benda yang termasuk najis.
4.    Untuk mengetahui cara bersuci dari najis.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Najis
Najis adalah perkara yang secara otomatis dapat menghambat ibadah kita, karena sifat najis adalah mengkotori sesuatu dan tidak akan bersih ataupun suci sebelum di bersihkan. Untuk itu kita perlu berhati-hati dalam menghadapi perkara-perkara tentang najis. Sudah sucikah badan dan pakaian anda? Dizaman sekarang ini banyak orang yang tidak memperdulikan masalah najis dan penyuciannya , ini merupakan hal yang fatal dalam persoalan ibadah.
Najis adalah bentuk kotoran yang setiap muslim diwajibkan untuk membersihkan diri darinya atau mencuci bagian yang terkena olehnya. mengenai hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Secara etimologis, “najis” berarti sesuatu yang mengotori. Sedangkan menurut syara’, “najis” adalah sesuatu yang kotor yang dapat menghalangi keabsahan shalat selama tidak ada sesuatu yang meringankan (rukhsah).[1]
Tak jauh berbeda dari pendapat di atas, Hasan Saleh menyebutkan bahwa pengertian najis ditinjau dari arti bahasa adalah perkara yang menjijikan. Sedangkan menurut arti secara syara’ adalah benda yang dianggap menjijikan yang menjegah keabsahan shalat seandainya terbawa didalamnya.[2]



Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
...... قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
Artinya:    Rasulullah SAW bersabda, "Bersuci itu sebagian dari iman,.....” (HR. Muslim).[3]

B.       Macam-macam Najis
Najis terdiri dari beberapa macam, baik berbentuk cair maupun padat. Contoh najis yang bersifat cair adalah; khamr, air seni (urine), darah, dll. Sedangkan yang bersifat padat di antaranya; bangkai, tinja, dll.
1.    Najis Mughalazhah (Najis Berat)
Yaitu najis berat, contohnya anjing, babi, dan peranakan dari keduanya, berikut pula air seni, air liur, tinja, dll yang bersumber dari binatang-binatang tersebut. Apabila suatu benda terkena najis karena bersentuhan dengan anjing atau babi, yang salah satunya basah,[4] maka benda tersebut dihukumi najis Mughalazhah.
2.    Najis Muthawasithah (najis sedang)
Najis Muthawasithah adalah semua najis selain anjing dan babi atau peranakan dari keduanya. Najis Muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut.[5]
3.    Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Yaitu najis ringan, contohnya yaitu air seni bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan apa pun selain ASI. Najis mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci.[6]

C.      Benda-benda yang Najis
1.    Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia
Adapun bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang serta mayat manusia, semuanya suci.
Firman Allah Swt:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$#.....
Artinya:   “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maidah: 3)

Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat manusia, tidak masuk dalam arti bangkai yang umum dalam ayat tersebut karena ada keterangan lain. Bagian bangkai, seperti daging, kulit, tulang, urat, bulu, dan lemaknya semuanya itu najis menurut madzab syafi’i.
2.    Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa. Firman Allah Swt.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/
Artinya: “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Maidah: 3)
3.    Nanah
Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.
4.    Segala benda cair yang keluar dari dua pintu
Semua itu najis selain dari mani, baik yang biasa seperti tinja, air kencing ataupun yang tidak biasa, seperti mazi, baik dari hewan yang halal dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.



5.    Khamr/Arak (setiap minuman keras yang memabukan)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya:   “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90)

6.    Anjing dan Babi
Semua hewan suci, kecuali Anjing dan Babi.
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مِرَارٍ أُولَاهُنَّ بِتُرَابٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Kesucian bejana salah seorang di antara kalian, kalau di dalamnya dijilat anjing, hendaknya dicuci tujuh kali, salah satu diantaranya dengan tanah. " (HR. Muslim & Abu Daud)

7.    Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup.
Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu juga najis, seperti babi dan kambing. Kalau bangkainya suci, yang dipotong selagi hidupnya sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal dimakan, hukumnya suci.[7]
8.    Kotoran dan Kencing Hewan.
Menurut syari’at Islam, semua yang keluar dari hewan  adalah najis, baik itu kotoran maupun kencingnya.



9.    Hewan Jalalah (Liar)
Jalalah adalah hewan liar yang memakan kotoran, baik kotoran unta, sapi, kamping, ayam, angsa, dan lain-lainnya, sehingga hewan tersebut berubah baunya.
10.     Wadi
Wadi adalah cairan kental yang biasanya keluar setelah seseorang selesai dari buang air kecilnya (kencing). Wadi ini dihukumi najis dan harus disucikan seperti halnya kencing, tetapi tidak wajib mandi.
11.     Madzi
Madzi adalah cairan bening sedikit kental yang keluar dari saluran kencing ketika bercumbu atau nafsu syahwat mulai terangsang. Terkadang tidak merasakan akan proses keluarnya. Hal itu sama-sama dialami oleh laki-laki dan juga wanita, akan tetapi jumlahnya lebih banyak.
12.     Kencing dan Muntah Manusia
Menurut kesepakatan para ulama, keduanya adalah najis.
13.     Mani
Mengenai mani, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, yang mana sebagian dari mereka menganggapnya najis. Yang jelas ia tetap suci.[8]

D.      Cara Bersuci dari Najis
1.    Najis Mughalazhah (Najis Berat)
Apabila suatu benda terkena najis mughalazhah (Najis Berat), maka benda itu hanya bisa disucikan dengan cara dicuci tujuh kali yang salah satu di antaranya menggunakan debu yang merata pada seluruh tempat yang terkena najis. Adalah wajib hukumnya untuk meratakan tempat atau pakaian yang terkena najis mughalazhah dengan air yang dicampur debu. Menurut pendapat yang azhar, penggunaan debu tidak bisa digantikan dengan bahan lain seperti abun atau asynan.[9] Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يُغْسَلَ سَبْعَ مِرَارٍ أُولَاهُنَّ بِتُرَابٍ
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Kesucian bejana salah seorang di antara kalian, kalau di dalamnya dijilat anjing, hendaknya dicuci tujuh kali, salah satu diantaranya dengan tanah. " (HR. Muslim & Abu Daud)

2.    Najis Muthawasithah (najis sedang)
Jika najis muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut. Jika ternyata najis muthawasithah sulit dihilangkan, wajib digunakan bahan-bahan semacam sabun. Jika ternyata (setelah dicuci dengan sabun) warna atau bau najis tersebut masih ada dan benar-benar sulit dihilangkan, itu tidak mengapa. Jika najis muthawasithah tidak berwujud, seperti air seni yang sudah kering, dan sudah tidak ada rasa, warna dan baunya, maka cukuplah najis itu dihilangkan dengan mengalirkan air pada bagian yang terkena najis dengan satu kali siraman.[10]
Sabda Rasulullah SAW.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَصَلَّى قَالَ ابْنُ عَبْدَةَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلَا تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ تَحَجَّرْتَ وَاسِعًا ثُمَّ لَمْ يَلْبَثْ أَنْ بَالَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَأَسْرَعَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ صُبُّوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ قَالَ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
Artinya:   Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya pernah ada seorang Arab badui masuk ke dalam masjid, sedangkan Rasulullah SAW duduk, lalu orang tersebut mengerjakan shalat, kata Ibnu Abdah, "Dua rakaat" kemudian berkata (orang itu), "Ya Allah! Berilah aku rahmat dan Muhammad, dan janganlah engkau beri rahmat seseorang yang bersama kami!" Maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kamu telah mempersempit suatu perkara yang luas. " Kemudian orang itu tetap tinggal, sehingga kencing di sudut masjid. Maka orang-orang dengan segera membentaknya, lalu Nabi SAW melarang mereka dan bersabda, "Sesungguhnya kamu sekalian diutus untuk mempermudah, tidak diutus untuk mempersulit. " Tuangkanlah air satu timba ke atas kencing itu!" (HR. Bukhari, Muslim & Abu Daud)

3.    Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Najis mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci. Meskipun terdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak disyaratkan untuk mengalirkan air. Mayoritas ulama berpendapat bahwa air seni anak kecil adalah najis, oleh sebab itu syari’ (Allah dan Rasulullah) memberikan keringanan pada proses penyuciannya. Adapun air kencing bayi perempuan atau bayi khunsa (berkelamin ganda) hendaklah dicuci sebagaimana halnya air kencing perempuan dewasa, bagitu pula halnya dengan air seni bayi laki-laki yang sudah memakan makanan selain ASI.[11] Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.
عَن أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنٍ لَهَا لَمْ يَبْلُغْ أَنْ يَأْكُلَ الطَّعَامَ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ أَخْبَرَتْنِي أَنَّ ابْنَهَا ذَاكَ بَالَ فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ عَلَى ثَوْبِهِ وَلَمْ يَغْسِلْهُ غَسْلًا
Artinya:   Dari Ummu Qais binti Muhshan RA, bahwasanya dia pernah datang menghadap Rasulullah SAW dengan membawa bayi laki-lakinya yang belum makan makanan. Kata Ubaidullah, "Ummu Qais memberitahu saya bahwa bayi laki-lakinya kencing di pangkuan Rasulullah, kemudian Rasulullah meminta air dan memercikkannya pada bajunya tanpa membasuhnya." (HR. Muslim)



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Secara etimologis, “najis” berarti sesuatu yang mengotori. Sedangkan menurut syara’, “najis” adalah sesuatu yang kotor yang dapat menghalangi keabsahan shalat selama tidak ada sesuatu yang meringankan (rukhsah).
Najis terbagi tiga jenis, yaitu:
1.    Najis Mughalazhah (Najis Berat)
2.    Najis Muthawasithah (najis sedang)
3.    Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Berikut ini beberapa benda yang termasuk najis, yaitu: bangkai, darah, nanah, segala benda cair yang keluar dari dua pintu, khamr/arak (setiap minuman keras yang memabukan), anjing dan babi, bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup, kotoran dan kencing hewan, hewan jalalah (liar), wadi, madzi, kencing dan muntah manusia dan mani.
Cara mensucikan najis yaitu:
1.    Najis Mughalazhah (Najis Berat)
Apabila suatu benda terkena najis mughalazhah (Najis Berat), maka benda itu hanya bisa disucikan dengan cara dicuci tujuh kali yang salah satu di antaranya menggunakan debu yang merata pada seluruh tempat yang terkena najis.
2.    Najis Muthawasithah (najis sedang)
Jika najis muthawasithah ini berupa najis ‘ainiyyah (najis yang dapat diketahui dengan menggunakan indera manusia). Maka menghilangkan zat najis tersebut adalah wajib. Hal itu dianggap belum sempurna sampai hilang rasa, warna atau bau najis tersebut. Jika ternyata najis muthawasithah sulit dihilangkan, wajib digunakan bahan-bahan semacam sabun. Jika ternyata (setelah dicuci dengan sabun) warna atau bau najis tersebut masih ada dan benar-benar sulit dihilangkan, itu tidak mengapa.
3.    Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Najis mukhaffafah ini adalah najis yang mendapat toleransi dari syara’, sehingga tidak wajib dihilangkan dengan cara dicuci. Meskipun terdapat banyak air, cara untuk mensucikan najis tersebut cukup dengan memercikkan air pada tempat yang terkena najis tersebut, dan tidak disyaratkan untuk mengalirkan air.

B.       Saran
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila ada kesalahan dan kami sangat mengharap saran yang membangun dari pembaca agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA


H.E. Hasan Saleh. (2008). Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta:Rajawali Pers.
Sulaiman Rasjid. (2014). Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. (1998) Fiqih Wanita (Edisi Indonesia). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Zuhaili, Wahbah. (2010). Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Terjemahan). Jakarta: Almahira.



[1] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i; Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits (Terjemahan), (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 99
[2] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta:Rajawali Pers,2008), hlm. 21
[3] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Edisi Indonesia), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 15.
[4] Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hlm. 105
[5] Ibid., hlm. 107
[6] Ibid., hlm. 108
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), hlm. 16-20.
[8] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,  Op.Cit., hlm. 16-22
[9] Ibid., hlm. 105-106
[10] Ibid., hlm. 107
[11] Ibid., hlm. 108


Butuh Makalah Ini? Download disini

No comments:

Post a Comment